MADIUN – Persoalan perkawinan anak saat ini menjadi perhatian dalam kehidupan masyarakat nasional maupun internasional. Data UNICEF tahun 2018 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat 7 dunia terkait pernikahan usia anak. Di tingkat ASEAN, Indonesia menduduki peringkat 2 dengan angka pernikahan usia anak 27, 6 persen atau sekitar 23 juta anak berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2018.
Merespons fenomena itu, Pusat Studi Syariah Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerja sama dengan Program Studi Magister Kenotariatan UNAIR melangsungkan pengabdian masyarakat di Kabupaten Madiun. Pengmas yang berlangsung pada Sabtu (16/7/2022) di Desa Singgahan, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun tersebut memberikan penyuluhan dan pendampingan hukum tentang perkawinan anak.
Baca juga:
Gugatan Mahasiswa UKI Ditolak oleh MK
|
Ketua Pusat Studi Syariah Dr Prawitra Thalib SH MH hadir membuka acara sekaligus menjadi pembicara. Hadir pula Kepala Desa Singgahan, dosen, dan mahasiswa FH UNAIR. Dr Trisandini P. Usanti SH MH juga menjadi pembicara dan membahas perihal perkawinan anak dan pencegahannya.
“Dampak dari terjadinya perkawinan ada empat, yakni persoalan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lainnya yang bisa berakibat pada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, Red), dan kesehatan mental anak, ” ucapnya.
Narasumber kedua, Prawitra, menjelaskan materi terkait pernikahan siri dalam perspektif Islam. Selain dalam perspektif Islam, ia juga membahas kompilasi hukum Islam serta perkawinan siri dengan perspektif undang undang yang tertuang dalam UU No.1 tahun 1974.
Usai penyampaian materi, acara selanjutnya tanya jawab sebagai bentuk pendampingan hukum untuk menjawab persoalan seputar perkawinan anak di Desa Singgahan. Peserta sangat antusias dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diberikan. Salah satunya dari Hanifa. “Apakah ayah angkat dapat dicantumkan dalam akta kelahiran?, ” tanya Hanifa.
Menjawab pertanyaan tersebut, Prawitra mengungkapkan bahwa akta kelahiran hanya mencantumkan nama orang tua biologis anak. Sebab, dalam ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan, asal usul anak tidak boleh dihilangkan.
“Hal ini berkaitan dengan hubungan nasab antara anak, baik dengan ibu dengan keluarga ibunya, maupun dengan ayah dan keluarga ayahnya, ” uicap Prawitra.
Terkait dengan pengangkatan anak yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kepentingan terbaik bagi anak, lanjutnya, maka dapat dilakukan dengan dimohonkan penetapan pengadilan di pengadilan negeri setempat.
Penyuluhan dan pendampingan hukum tentang perkawinan anak tersebut diharapkan bisa menjadi awal langkah menuju desa ramah perempuan dan peduli anak di Desa Singgahan, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. (*)
Penulis: Dedy Stansyah
Editor: Binti Q. Masruroh